Tak bisa dipungkiri lagi bahwa tumbuh-kembang manusia
pada zaman modern kini tidak terlepas dari peran media. Tak bisa dielakkan lagi
bahwa pembentukan mentalitas manusia pada zaman modern kini tidak bisa
terhindar dari gesekan media. Tak bisa terbantahkan lagi bahwa pendidikan
karakter manusia selalu diikuti dengan embel-embel media. Entah itu media
cetak, elektronik, maupun media internet. Ya,media telah menjadi jembatan arus
informasi yang selalu hilir-mudik pada kehidupan manusia. Terlebih lagi pada
manusia perkotaan di negara-negara maju. Hal ini tidak terlepas dari
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin pesat.
Media telah menjadi semacam jembatan penghubung arus
informasi. Berbagai informasi di belahan dunia bagian barat, dengan segera bisa
diakses oleh negara-negara di belahan timur. Media telah menjadikan dunia
terasa datar, terlebih lagi dengan semakin berkembangnya teknologi Web 2.0.
Seperti kata Thomas L Friedman dalam bukunya yang sangat terkenal The
World is Flat : When the world goes flat ─and you are feeling flattened─reach
for shovel and dig inside yourself. Don’t try to build walls. Sebuah pesan
yang bijak dalam menyikapi arus informasi dan teknologi yang semakin berkembang
dengan melihatnya sebagai sebuah peluang dan tantangan dalam memperluas
jaringan informasi dan meningkatkan kapabilitas diri.
Segala arus informasi bisa segera tersebar hanya melalui
perantaraan kawat. Kawat yang saling terhubung antara satu dan yang lainnya
guna menghantarkan gelombang informasi tentang dunia. Kawat yang
bertransformasi menjadi penyampai kabar tentang dunia kepada dunia. Peranan
media massa tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari arti keberadaan media
itu sendiri. Marshall McLuhan, seorang sosiolog Kanada mengatakan bahwa ”media
is the extension of men”. Pada awalnya, ketika teknologi masih terbatas
maka seseorang harus melakukan komunikasi secara langsung. Akan tetapi, seiring
dengan peningkatan teknologi, media massa menjadi sarana dalam memberikan
informasi, serta melaksanakan komunikasi dan dialog. Secara tidak langsung,
dengan makna keberadaan media itu sendiri, media telah menjadi sarana dalam
upaya perluasan ide-ide, gagasan-gagasan dan pemikiran terhadap kenyataan
sosial (Dedy Jamaludi Malik, 2001: 23).
Harus kita akui
bahwa hubungan antara
film dan masyarakat
memiliki sejarah yang panjang
dalam kajian para ahli komunikasi. Film disebut sebagai alat komunikasi massa
yang kedua muncul di dunia setelah media cetak, mempunyai masa pertumbuhannya
pada akhir abad ke-19, dengan perkataan lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi perkembangan
surat kabar sudah dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya
film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena tidak
mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan dermografi yang
merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan
permulaan abad ke-19” (Lee dalam Sobur, 2004:126).
Film diperkenalkan pada tahun 1893 dan masuk ke Indonesia
sekitar tahun 1900-an. Didominasi oleh
film Amerika dan
Eropa. Setelah sempat
mati suri dunia perfilman
Indonesia kini berkembang sangat cepat. Banjir impor film dari India, Amerika,
Cina dan lain-lain tidak membuat sineas Indonesia kalah bersaing. Sebuah film
bertema sejarah ditujukan untuk penonton masa kini. Oleh sebab itu pemaknaan
historis harus mempertimbangkan sikap yang berlaku yang berlaku sekarang dan
ini mencakup misi kedepan (Kutoyo dalam Sen 2009:135). Film bertema sejarah
memiliki penggemar yang cukup banyak apalagi jika dalam film itu mengangkat
fakta-fakta sejarah yang sangat kontroversial
ditambah dengan adega kekerasan sebagai
pemanis. Selama ini film tentang Nazi merupakan film perang yang paling banyak dieksplor.Sebut saja Valkriye,Hannibal
Rising, Sabibor, Inglourius
Basterds sangat detail
menggambarkan kekejaman perang pada masa itu (Cinemags edisi Oktober
2009).
Di Indonesia ketika Orde Baru berjaya, film-film bertema
sejarah umumnya mengabaikan
sejarah masyarakat di Kepulauan Indonesia sebelum kedatangan
Belanda (Sen, 2009:139). Sen juga
menggambarkan bahwa film memiliki ‘fungsi nasional‘yang penting
dalam sebuah ‘negeri yang terdiri dari banyak pulau dengan banyak ragam
tradisi budaya’ dan sebagai ‘sebuah medium untuk mengekspresikan
perasaan-perasaan yang terilhami panggilan tanah airnya’. Selain itu film
banyak di gunakan sebagai alat propaganda. Sejumlah pekerja film terkemuka
mengabdikan tenaganya untuk sang penguasa.Film
seperti Janur Kuning (Alam Surawidjaja, 1979),
Serangan Fajar (Arifin
C Noer, 1981)
dan Pengkhianatan G30S/PKI
(Arifin C Noer 1983),merupakan
ujung tombak propaganda rezim militer.
Dalam film tersebut sudah tentu menggambarkan kerja keras presiden yang
kala itu
masih menjadi perwira
militer dalam memperjuangkan
kemerdekaan.
BAB II
PEMBAHASAN
q Analisis
Film Sebagai alat Propaganda Yang Di Gunakan Untuk Mengenalkan Daerah Palembang
(Sumatera Selatan)
q SInopsis
“Pengejar Angin”
Di daerah Lahat Sumatera Selatan, tinggal
seorang remaja bernama Dapunta (Qausar
Harta Yudana) yang sebentar lagi akan lulus SMA dan harus menentukan ke
mana masa depannya harus melangkah. Ibu Dapunta (Wanda Hamidah), sebenarnya sangat ingin agar Dapunta yang
cerdas, melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah, tapi masalahnya sang Ayah
(Mathias Muchus) menentangnya. Ayahnya menginginkan Dapunta
menjadi 'pengejar angin', julukan bagi pelari tercepat di kampung itu, untuk
melanjutkan jejaknya sebagai pemimpin dari para Bajing Loncat di kampung
mereka.
Bimbang, Dapunta mendapat dukungan dari
Bundanya untuk terus kuliah. "Apapun akan kulakukan untuk memenuhi
impianmu Nak, walaupun harus menentang ayahmu sekalian," ujar bundanya.
Akhirnya, Dapunta memberanikan diri untuk mengatakan kepada ayahnya bahwa ia harus
kuliah. Dengan cara apapun.
Pak Damar (Lukman Sardi), guru Dapunta, melihat potensi kecerdasan
dan kemampuan berlari Dapunta. Ia mendaftarkan Dapunta pada olimpiade
matematika di Jepang dan olimpiade lari tingkat pelajar di Kabupaten. Dapunta
mendapat dua kesempatan itu sekaligus, tapi kepala sekolah yang terbentur pada
sekolah gratis tidak memiliki uang untuk mendukung prestasi Dapunta.Terpuruk
karena terbentur dana, Dapunta yang selama ini tidak mau menerima uang dari
ayahnya, ketahuan bahwa dirinya anak seorang Bajing Loncat. Dapunta dibenci
oleh teman sekolahnya yang digerakkan oleh Jusuf, rival sejatinya.
Jusuf yang juga sama cerdas dan berbakat
dengan Dapunta, sejak awal memang sudah membenci Dapunta. Ia tidak menyukai
kenyataan bahwa ada orang lain di sekolah itu yang mampu menandingi
kecerdasannya. Ia pun dengan sekuat tenaga mencoba untuk membuat hidup Dapunta
menjadi sulit. Belum lagi, kepala sekolah yang tidak simpatik dan tidak peduli
dengan potensi murid-muridnya, ikut membuat mimpi Dapunta semakin penuh dengan
rintangan.
Pak Damar yang percaya pada keajaiban tak mau
menyerah. Coach Ferdy (Agus Kuncoro), teman lama Pak Damar yang juga seorang
pelatih lari nasional dari Jakarta, diminta melihat bakat Dapunta yang
sesungguhnya. Pemuda berjuluk 'pengejar angin' ini pun akhirnya menemukan jalan
lain menuju mimpinya. Ia bisa berlari, berlari dan berlari demi menggapai mimpinya.
Karena bakatnya yang luar biasa, bisa membawa ia ke mana pun yang ia inginkan.
q Analisis :
Tujuan film ini
dari awal jelas,sebagai alat propaganda untuk daerah Palembang yang
menjelang perhelatan akbar pesta olahraga se-Asia Tenggara,SEA Games. Berangkat
dari opini positif dan sinisme, film yang dikerjakan oleh Hestu Saputra ini
berhasil membungkus propaganda tanpa melupakan elemen-elemen film.Film ini
seluruhnya di biayai oleh pemprov Sumsel, sebagai film drama, konflik ini mudah
diikuti namun cukup membuat penonton berdebar. Pemaparan persoalan yang
dihadapi Pemprov Sumsel dan solusi yang ditawarkan membuka sudut pandang
keluasan negeri Indonesia yang tidak hanya sekitar Pulau Jawa.
Seperti yang selama ini terjadi,bahwa Indonesia hanya
jawa saja ,sumatera dia anggap sebagai anak tiri dari Indonesia. Ini terlihat
dari tidak meratanya pembangunan yang terjadi antara pusat dan daerah,dan di
buktikan oleh senjangnya kesajehteraan masyarakat yang terlihat dari jauhnya
tingkat ppendapatan perkapita penduduk antara pusat dan daerah. Bagaimana
kurang nya sarana dan prasarana bagi daerah Namun tujuan utama dari film ini
jelas, untuk mengenalkan Palembang (Sumsel) sebagai penyelengara Sea Games
kepada seruluh rakyat Indonesia, guna menarik turis local untuk menyaksikan
event ini secara lansung .Jika ini pesan ini tepat sasaran maka akan
berpengaruh pada pendapatan daerah Sumsel sebagai penyelengara, seperti yang
terjadi pada film The
Da Vinci Code.
Yang membuat orang-orang di seluruh
dunia penasaran dengan museum Louvre di Perancis. Semua masyarakat ingin
tahu apakah benar di bawah tanah museum itu tersemayamkan jasad Maria Magdalena,
perempuan yang di versi cerita itu dianggap sebagai istri Yesus. Sengaja atau
tidak sengaja, hal itu membuat pendapatan negara Perancis melonjak lagi melalui
Louvre. Begitu banyak turis dunia yang ingin membuktikan cerita tersebut
. Yang secara lansung menambah penghasilan dari segi devisa, dan mengeliatnya
perekonomian masyarakta pada daerah tersebut. Dalam film Pengejar angin banyak
di tampilkan daerah daerah wisata dan keunikan kebudaya di daerah Sumsel
,maupun fenomena Bajing Loncat yang di ceritakan dalam film tersebut. Juga
menggambarkan daerah Sumsel sebagai daaerah yang masih menjaga dan melestarikan
kebudayaannya.
Dalam setiap film
yang di danai oleh sebuah organisasi atau kelompok, selalu terselip pesan atau
agenda setting yang ingin di sampaikan. Pada akhir film kita saksikan sosok
Gubernur Sumatera Selatan (pada saat itu) .Alex Nurdin, sebagai seorang yang
memiliki segala hal yang di butuhkan sebagai seorang pemimpin. Sebagai pengayom
bagi masyarakat kecil, bagaimana menunjukan bahwa ia peduli deengan seluruh
rakyatnya, bahwa ia merupakan sosok pemimpin yang membumi. Bagaimana Alex
Nurdin membentuk imaje untuk dirinya. Ini merupakan salah satu langkah Alex
Nurdin untuk mengenalkan dirinya pada masyarakat seluruh Indonesia. Untuk memberitahu
masyarakat Indonesia tentang dirinya. Sebagi ancang-ancang untuk terjun ke
ranah politik yang lebih besar, terbukti daengan langkah Alex Nurdin untuk maju
sebagai calon gubenur DKI Jakarta, yang dianggap sebagai representasi dari
Indonesia mini.
Dunia hiburan
adalah media yang pas bagi suatu pihak untuk mempromosikan diri. Bisa melalui
cara yang lugas seperti iklan-iklan di televisi, atau cara halus seperti
propaganda lewat musik, film, atau buku.
Selanjutnya juga mengupas bagaimana minimnya kepedulian
pemerintah terhadap pendidikan, dalam film tersebut digambarkan masalah klasik
pendidikan Indonesia, yaitu minimnya dana APBN ( Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara) yang di alokasiakan untuk pendidikan dan penyaluran yang tidak
merata. Ini mengelitik pemerintah pusat, karena
menyatakan ketikdak becusan kinerja pemerintah pusat. Bagaimana
pemerintah pusat tidak memperhatikan nasib rakyatnya serta kurangnya bantuan
bagi masyakat berpretasi.
Indonesia saat ini
butuh lagi media propaganda yang memang diset untuk memajukan negara dan
menaikkan devisa. Bukan propaganda untuk memajukan segelintir kelompok dan
golongan. Kita butuh Upin & Ipin versi Indonesia yang bisa
mengharumkan nama Indonesia, seperti Upin & Ipin yang sukses
melambungkan nama Malaysia. Intinya, butuh konten lokal yang tidak harus
original, tapi – mampu membuat segala hal di negara ini menarik. Kenapa profesi
guru, polisi dan pemadam kebakaran terlihat terlihat keren seperti kalau kita
meliaht profesi yang sama di film-film luar?
Mungkins udah ada yang mencobanya, tapi karena kurang dukungan , entah
itu sponsor atau apa pun itu yang berhubungan dengan permodalan, akhirnya
proses produksi tidak maksimal, sehingga membuat film itu tidak dapat menyampaikan pesan-pesan
dan mendapatkan feedback yang di inginkan, sehingga menjadi sebuah hiburan yang
kurang diminati
BAB
III
KESIMPULAN
Media selalu berhubungan dengan ideologi dan kekuasaan
. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas wacana atau teks
ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu.Wacana untuk konsumsi
publik bukan dilihat dalam keadaan mentah tapi sebaliknya wacana dalam konteks
publik adalah wacana yang diorganisasi ulang dan dikontekstualisasikan agar
sama dengan bentuk ekspresi tertentu yang sedang digunakan. Bentuk ekspresi
teks tertentu mempunyai dampak besar atau apa yang terlihat, siapa yang melihat
dan dari perspektif sudut pandang macam apa. Oleh sebab itu, wacana teks media
juga membutuhkan analisis intertekstualitas. Analisis ini lebih ingin
mengetahui hubungan antara teks dengan praktek wacana. Intertekstualitas ini
bisa berproses dalam cara-cara pemaduan genre dan pewacanaan yang tersedia dalam
tatanan wacana untuk produksi dan konsumsi teks. Selain itu, analisis ini juga
ingin melihat cara transformasi dan relasi teks satu dengan teks yang lain. Dalam
perspektif ekonomi politik kritis, analisis ini memperlihatkan proses
komodifikasi dan strukturasi.
Pemaknaan dan makna tidak an sich ada dalam teks atau wacana
itu sendiri (John Fiske, 1988:143-144). Hal ini bisa dijelaskan bahwa ketika
kita membaca teks, maka makna tidak akan kita temukan dalam teks yang
bersangkutan. Yang kita temukan adalah pesan dalam sebuah teks. Sebuah
peristiwa yang direkam oleh media massa baru mendapat makna ketika peristiwa
tersebut ditempatkan dalam identifikasi kultural di mana berita tersebut hadir.
Peristiwa demi peristiwa
diatur dan dikelola sedemikian rupa oleh para awak media, dalam hal ini oleh
para wartawan. Itu berarti bahwa para awak media menempatkan peristiwa ke dalam
peta makna. Identifikasi sosial, kategorisasi, dan kontekstualisasi dari
peristiwa adalah proses penting di mana peristiwa itu dibuat bermakna bagi
khalayak.
Hubungan antara
ideologi dan kekuasaan bagaikan hubungan sayur dan garam, saling melengkapi,
hambar rasanya jika sayur tidak berisi garam. Demikian juga kekuasan akan
terasa kosong jika tidak ada ideologi yang menguatkannya
Weber mengatakan bahwa
kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau kelompok untuk menyadarkan
masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkannya
terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan tertentu.
Kekuasaan memiliki berbagai macam bentuk, dan bermacam-macam sumber (Soekanto,
2002:268-269). Dimana terdapat hubungan sosial antara masyarakat maupun
kelompok, pastilah disana ada kekuasaan.
Dalam mencari suatu
kekuasaan pastinya diperlukan beberapa sumber-sumber yang bisa dipergunakan
untuk merebut, dan mempertahankan kekuasaan, yakni militer, ekonomi, politik,
hukum, ideologi, tradisi, ideologi, diversionary power. Salah satu sumber yang
seringkali dipergunakan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan adalah
ideology yang di sebarkan melalui media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar