Senin, 14 Mei 2012

Film Sebagai Alat Propaganda



Tak bisa dipungkiri lagi bahwa tumbuh-kembang manusia pada zaman modern kini tidak terlepas dari peran media. Tak bisa dielakkan lagi bahwa pembentukan mentalitas manusia pada zaman modern kini tidak bisa terhindar dari gesekan media. Tak bisa terbantahkan lagi bahwa pendidikan karakter manusia selalu diikuti dengan embel-embel media. Entah itu media cetak, elektronik, maupun media internet. Ya,media telah menjadi jembatan arus informasi yang selalu hilir-mudik pada kehidupan manusia. Terlebih lagi pada manusia perkotaan di negara-negara maju. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin pesat.
Media telah menjadi semacam jembatan penghubung arus informasi. Berbagai informasi di belahan dunia bagian barat, dengan segera bisa diakses oleh negara-negara di belahan timur. Media telah menjadikan dunia terasa datar, terlebih lagi dengan semakin berkembangnya teknologi Web 2.0. Seperti kata Thomas L Friedman dalam bukunya yang sangat terkenal The World is Flat : When the world goes flat ─and you are feeling flattened─reach for shovel and dig inside yourself. Don’t try to build walls. Sebuah pesan yang bijak dalam menyikapi arus informasi dan teknologi yang semakin berkembang dengan melihatnya sebagai sebuah peluang dan tantangan dalam memperluas jaringan informasi dan meningkatkan kapabilitas diri.
Segala arus informasi bisa segera tersebar hanya melalui perantaraan kawat. Kawat yang saling terhubung antara satu dan yang lainnya guna menghantarkan gelombang informasi tentang dunia. Kawat yang bertransformasi menjadi penyampai kabar tentang dunia kepada dunia. Peranan media massa tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari arti keberadaan media itu sendiri. Marshall McLuhan, seorang sosiolog Kanada mengatakan bahwa ”media is the extension of men”. Pada awalnya, ketika teknologi masih terbatas maka seseorang harus melakukan komunikasi secara langsung. Akan tetapi, seiring dengan peningkatan teknologi, media massa menjadi sarana dalam memberikan informasi, serta melaksanakan komunikasi dan dialog. Secara tidak langsung, dengan makna keberadaan media itu sendiri, media telah menjadi sarana dalam upaya perluasan ide-ide, gagasan-gagasan dan pemikiran terhadap kenyataan sosial (Dedy Jamaludi Malik, 2001: 23).
Harus   kita   akui   bahwa   hubungan   antara   film   dan   masyarakat   memiliki  sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Film disebut sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia setelah media cetak, mempunyai masa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19, dengan perkataan lain pada waktu  unsur-unsur yang merintangi perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap. Ini berarti bahwa dari permulaan sejarahnya film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena tidak mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan dermografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19” (Lee dalam Sobur, 2004:126).
Film diperkenalkan pada tahun 1893 dan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1900-an.   Didominasi   oleh   film   Amerika  dan   Eropa.   Setelah   sempat   mati   suri dunia perfilman Indonesia kini berkembang sangat cepat. Banjir impor film dari India, Amerika, Cina dan lain-lain tidak membuat sineas Indonesia kalah bersaing. Sebuah film bertema sejarah ditujukan untuk penonton masa kini. Oleh sebab itu pemaknaan historis harus mempertimbangkan sikap yang berlaku yang berlaku sekarang dan ini mencakup misi kedepan (Kutoyo dalam Sen 2009:135). Film bertema sejarah memiliki penggemar yang cukup banyak apalagi jika dalam film itu mengangkat fakta-fakta sejarah yang sangat kontroversial    ditambah dengan adega kekerasan sebagai  pemanis. Selama ini film tentang Nazi merupakan film   perang yang paling banyak  dieksplor.Sebut saja Valkriye,Hannibal Rising, Sabibor, Inglourius  Basterds     sangat   detail   menggambarkan kekejaman perang pada masa itu (Cinemags edisi Oktober 2009).
Di Indonesia ketika Orde Baru berjaya, film-film bertema sejarah umumnya mengabaikan        sejarah   masyarakat di  Kepulauan Indonesia sebelum kedatangan Belanda (Sen,   2009:139). Sen   juga   menggambarkan bahwa film memiliki ‘fungsi nasional‘yang penting dalam  sebuah  ‘negeri yang terdiri   dari banyak pulau dengan banyak ragam tradisi budaya’ dan sebagai ‘sebuah medium untuk mengekspresikan perasaan-perasaan yang terilhami panggilan tanah airnya’. Selain itu film banyak di gunakan sebagai alat propaganda. Sejumlah pekerja film terkemuka mengabdikan  tenaganya untuk    sang   penguasa.Film  seperti Janur Kuning  (Alam   Surawidjaja,   1979),  Serangan   Fajar   (Arifin   C   Noer,   1981)   dan Pengkhianatan G30S/PKI  (Arifin  C Noer 1983),merupakan ujung  tombak propaganda rezim militer. Dalam film tersebut sudah tentu menggambarkan kerja keras presiden yang kala  itu  masih      menjadi  perwira  militer   dalam memperjuangkan kemerdekaan.

BAB II
PEMBAHASAN

q  Analisis Film Sebagai alat Propaganda Yang Di Gunakan Untuk Mengenalkan Daerah Palembang (Sumatera Selatan)

q  SInopsis “Pengejar Angin”

Di daerah Lahat Sumatera Selatan, tinggal seorang remaja bernama Dapunta (Qausar Harta Yudana) yang sebentar lagi akan lulus SMA dan harus menentukan ke mana masa depannya harus melangkah. Ibu Dapunta (Wanda Hamidah), sebenarnya sangat ingin agar Dapunta yang cerdas, melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah, tapi masalahnya sang Ayah (Mathias Muchus) menentangnya. Ayahnya menginginkan Dapunta menjadi 'pengejar angin', julukan bagi pelari tercepat di kampung itu, untuk melanjutkan jejaknya sebagai pemimpin dari para Bajing Loncat di kampung mereka.

Bimbang, Dapunta mendapat dukungan dari Bundanya untuk terus kuliah. "Apapun akan kulakukan untuk memenuhi impianmu Nak, walaupun harus menentang ayahmu sekalian," ujar bundanya. Akhirnya, Dapunta memberanikan diri untuk mengatakan kepada ayahnya bahwa ia harus kuliah. Dengan cara apapun.

Pak Damar (Lukman Sardi), guru Dapunta, melihat potensi kecerdasan dan kemampuan berlari Dapunta. Ia mendaftarkan Dapunta pada olimpiade matematika di Jepang dan olimpiade lari tingkat pelajar di Kabupaten. Dapunta mendapat dua kesempatan itu sekaligus, tapi kepala sekolah yang terbentur pada sekolah gratis tidak memiliki uang untuk mendukung prestasi Dapunta.Terpuruk karena terbentur dana, Dapunta yang selama ini tidak mau menerima uang dari ayahnya, ketahuan bahwa dirinya anak seorang Bajing Loncat. Dapunta dibenci oleh teman sekolahnya yang digerakkan oleh Jusuf, rival sejatinya.

Jusuf yang juga sama cerdas dan berbakat dengan Dapunta, sejak awal memang sudah membenci Dapunta. Ia tidak menyukai kenyataan bahwa ada orang lain di sekolah itu yang mampu menandingi kecerdasannya. Ia pun dengan sekuat tenaga mencoba untuk membuat hidup Dapunta menjadi sulit. Belum lagi, kepala sekolah yang tidak simpatik dan tidak peduli dengan potensi murid-muridnya, ikut membuat mimpi Dapunta semakin penuh dengan rintangan.
Pak Damar yang percaya pada keajaiban tak mau menyerah. Coach Ferdy (Agus Kuncoro), teman lama Pak Damar yang juga seorang pelatih lari nasional dari Jakarta, diminta melihat bakat Dapunta yang sesungguhnya. Pemuda berjuluk 'pengejar angin' ini pun akhirnya menemukan jalan lain menuju mimpinya. Ia bisa berlari, berlari dan berlari demi menggapai mimpinya. Karena bakatnya yang luar biasa, bisa membawa ia ke mana pun yang ia inginkan.
q  Analisis :
Tujuan film ini  dari awal jelas,sebagai alat propaganda untuk daerah Palembang yang menjelang perhelatan akbar pesta olahraga se-Asia Tenggara,SEA Games. Berangkat dari opini positif dan sinisme, film yang dikerjakan oleh Hestu Saputra ini berhasil membungkus propaganda tanpa melupakan elemen-elemen film.Film ini seluruhnya di biayai oleh pemprov Sumsel, sebagai film drama, konflik ini mudah diikuti namun cukup membuat penonton berdebar. Pemaparan persoalan yang dihadapi Pemprov Sumsel dan solusi yang ditawarkan membuka sudut pandang keluasan negeri Indonesia yang tidak hanya sekitar Pulau Jawa.
Seperti yang selama ini terjadi,bahwa Indonesia hanya jawa saja ,sumatera dia anggap sebagai anak tiri dari Indonesia. Ini terlihat dari tidak meratanya pembangunan yang terjadi antara pusat dan daerah,dan di buktikan oleh senjangnya kesajehteraan masyarakat yang terlihat dari jauhnya tingkat ppendapatan perkapita penduduk antara pusat dan daerah. Bagaimana kurang nya sarana dan prasarana bagi daerah Namun tujuan utama dari film ini jelas, untuk mengenalkan Palembang (Sumsel) sebagai penyelengara Sea Games kepada seruluh rakyat Indonesia, guna menarik turis local untuk menyaksikan event ini secara lansung .Jika ini pesan ini tepat sasaran maka akan berpengaruh pada pendapatan daerah Sumsel sebagai penyelengara, seperti yang terjadi pada film The Da Vinci Code. Yang membuat  orang-orang di seluruh dunia penasaran dengan museum Louvre di Perancis. Semua masyarakat ingin tahu apakah benar di bawah tanah museum itu tersemayamkan jasad Maria Magdalena, perempuan yang di versi cerita itu dianggap sebagai istri Yesus. Sengaja atau tidak sengaja, hal itu membuat pendapatan negara Perancis melonjak lagi melalui Louvre. Begitu banyak turis dunia yang ingin membuktikan cerita tersebut . Yang secara lansung menambah penghasilan dari segi devisa, dan mengeliatnya perekonomian masyarakta pada daerah tersebut. Dalam film Pengejar angin banyak di tampilkan daerah daerah wisata dan keunikan kebudaya di daerah Sumsel ,maupun fenomena Bajing Loncat yang di ceritakan dalam film tersebut. Juga menggambarkan daerah Sumsel sebagai daaerah yang masih menjaga dan melestarikan kebudayaannya.
Dalam setiap film yang di danai oleh sebuah organisasi atau kelompok, selalu terselip pesan atau agenda setting yang ingin di sampaikan. Pada akhir film kita saksikan sosok Gubernur Sumatera Selatan (pada saat itu) .Alex Nurdin, sebagai seorang yang memiliki segala hal yang di butuhkan sebagai seorang pemimpin. Sebagai pengayom bagi masyarakat kecil, bagaimana menunjukan bahwa ia peduli deengan seluruh rakyatnya, bahwa ia merupakan sosok pemimpin yang membumi. Bagaimana Alex Nurdin membentuk imaje untuk dirinya. Ini merupakan salah satu langkah Alex Nurdin untuk mengenalkan dirinya pada masyarakat seluruh Indonesia. Untuk memberitahu masyarakat Indonesia tentang dirinya. Sebagi ancang-ancang untuk terjun ke ranah politik yang lebih besar, terbukti daengan langkah Alex Nurdin untuk maju sebagai calon gubenur DKI Jakarta, yang dianggap sebagai representasi dari Indonesia mini.
Dunia hiburan adalah media yang pas bagi suatu pihak untuk mempromosikan diri. Bisa melalui cara yang lugas seperti iklan-iklan di televisi, atau cara halus seperti propaganda lewat musik, film, atau buku.
Selanjutnya juga mengupas bagaimana minimnya kepedulian pemerintah terhadap pendidikan, dalam film tersebut digambarkan masalah klasik pendidikan Indonesia, yaitu minimnya dana APBN ( Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang di alokasiakan untuk pendidikan dan penyaluran yang tidak merata. Ini mengelitik pemerintah pusat, karena  menyatakan ketikdak becusan kinerja pemerintah pusat. Bagaimana pemerintah pusat tidak memperhatikan nasib rakyatnya serta kurangnya bantuan bagi masyakat berpretasi.
Indonesia saat ini butuh lagi media propaganda yang memang diset untuk memajukan negara dan menaikkan devisa. Bukan propaganda untuk memajukan segelintir kelompok dan golongan. Kita butuh Upin & Ipin versi Indonesia yang bisa mengharumkan nama Indonesia, seperti Upin & Ipin yang sukses melambungkan nama Malaysia. Intinya, butuh konten lokal yang tidak harus original, tapi – mampu membuat segala hal di negara ini menarik. Kenapa profesi guru, polisi dan pemadam kebakaran terlihat terlihat keren seperti kalau kita meliaht profesi yang sama di film-film luar?  Mungkins udah ada yang mencobanya, tapi karena kurang dukungan , entah itu sponsor atau apa pun itu yang berhubungan dengan permodalan, akhirnya proses produksi tidak maksimal, sehingga membuat  film itu tidak dapat menyampaikan pesan-pesan dan mendapatkan feedback yang di inginkan, sehingga menjadi sebuah hiburan yang kurang diminati


BAB III
KESIMPULAN
Media selalu berhubungan dengan ideologi dan kekuasaan . Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu.Wacana untuk konsumsi publik bukan dilihat dalam keadaan mentah tapi sebaliknya wacana dalam konteks publik adalah wacana yang diorganisasi ulang dan dikontekstualisasikan agar sama dengan bentuk ekspresi tertentu yang sedang digunakan. Bentuk ekspresi teks tertentu mempunyai dampak besar atau apa yang terlihat, siapa yang melihat dan dari perspektif sudut pandang macam apa. Oleh sebab itu, wacana teks media juga membutuhkan analisis intertekstualitas. Analisis ini lebih ingin mengetahui hubungan antara teks dengan praktek wacana. Intertekstualitas ini bisa berproses dalam cara-cara pemaduan genre dan pewacanaan yang tersedia dalam tatanan wacana untuk produksi dan konsumsi teks. Selain itu, analisis ini juga ingin melihat cara transformasi dan relasi teks satu dengan teks yang lain. Dalam perspektif ekonomi politik kritis, analisis ini memperlihatkan proses komodifikasi dan strukturasi.
Pemaknaan dan makna tidak an sich ada dalam teks atau wacana itu sendiri (John Fiske, 1988:143-144). Hal ini bisa dijelaskan bahwa ketika kita membaca teks, maka makna tidak akan kita temukan dalam teks yang bersangkutan. Yang kita temukan adalah pesan dalam sebuah teks. Sebuah peristiwa yang direkam oleh media massa baru mendapat makna ketika peristiwa tersebut ditempatkan dalam identifikasi kultural di mana berita tersebut hadir. Peristiwa demi peristiwa diatur dan dikelola sedemikian rupa oleh para awak media, dalam hal ini oleh para wartawan. Itu berarti bahwa para awak media menempatkan peristiwa ke dalam peta makna. Identifikasi sosial, kategorisasi, dan kontekstualisasi dari peristiwa adalah proses penting di mana peristiwa itu dibuat bermakna bagi khalayak.
Hubungan antara ideologi dan kekuasaan bagaikan hubungan sayur dan garam, saling melengkapi, hambar rasanya jika sayur tidak berisi garam. Demikian juga kekuasan akan terasa kosong jika tidak ada ideologi yang menguatkannya
Weber mengatakan bahwa kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau kelompok untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan tertentu. Kekuasaan memiliki berbagai macam bentuk, dan bermacam-macam sumber (Soekanto, 2002:268-269). Dimana terdapat hubungan sosial antara masyarakat maupun kelompok, pastilah disana ada kekuasaan.
Dalam mencari suatu kekuasaan pastinya diperlukan beberapa sumber-sumber yang bisa dipergunakan untuk merebut, dan mempertahankan kekuasaan, yakni militer, ekonomi, politik, hukum, ideologi, tradisi, ideologi, diversionary power. Salah satu sumber yang seringkali dipergunakan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan adalah ideology yang di sebarkan melalui media.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar